Bangsa Yunani, juga Romawi, mengasosiasikan warna merah dengan perang, sehingga menamainya sebagai Ares atau Mars, yang artinya sang dewa perang. Misteri Mars sedikit terkuak dengan ditemukannya teknologi teleskup optik pada abad ke-19.
Dimulai dari Giovanni Schiaparelli tahun 1877, saat ia mengobservari kanal-kanal di Mars. Kata canali (canal) yang seharusnya diterjemahkan menjadi “channels” dalam bahasa Inggris, secara keliru diterjemahkan menjadi “canals”, yang konotasinya merupakan saluran buatan. Karena disebut sebagai canals, orang lalu menganggap ada makhluk cerdas (ETI- Exstraterrestrial intelegence) di Mars yang telah membuatnya. Untuk membuktikan hal itu, seorang astronom Amerika Percival Lowell melanjutkan pengamatan planet merah dengan teleskop di Flagstaff, Arizona, sekitar tahun 1896. Berdasarkan penelitiannya, ia yakin Mars adalah planet kering dan mati. Disimpulkan Lowell, penghuninya mengalami kekeringan lalu membangun kanal-kanal untuk menyalurkan air dari kutub Mars. Kesimpulan Lowell itulah yang dijadikan bahan cerita novel karangan HG.Well berjudul The War of the World (1898) dan Edgar Rice Burroughs yang mengisahkan seorang pangeran dari Mars (A Princess of Mars, 1917), yang makin membuat publik penasaran sampai 50 tahun kemudian (1964) Amereka Serikat untuk pertama kalinya berhasil mengirim wahana antariksa Mariner 3 ke Mars. Sejak itulah upaya eksplorasi Mars berkembang sedemikian pesatnya. Pada 25 Juli 1976 wahana antariksa Viking 1 buatan NASA mengambil gambar pada suatu lokasi di Mars yang diberi nama ‘’Sosok Wajah Manusia di Mars’’ (face of Mars), seperti sebuah patung wajah manusia (humanoid) berukuran raksasa yang memandang langit. Enam hari kemudian pada 31 Juli, NASA mengumumkan kepada media massa tentang keberadaan sesuatu yang menyerupai kepala manusia. Dikatakan citra tersebut terbentuk akibat perpaduan sinar matahari yang datang dari arah tertentu menurut ketinggian dan besaran sudut terbitnya Matahari dari ekuator Mars dan profil permukaan benda yang terkena sinar Matahari tersebut. Proses itu menghasilkan bayangan benda yang memunculkan kesan menyerupai mulut, hidung, dan mata manusia. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa foto ‘’wajah di Mars’’ tersebut kemudian menyebar dalam berbagai bentuk spekulasi mengenai cara terbentuk dan maksudnya. Apalagi di dekatnya ada objek yang menyerupai sebuah piramida. Bagi sebagian penggila petualangan antariksa, mengartikan ‘’wajah di Mars’’ beserta piramidanya memiliki kemiripan dengan pembuatan gugus piramida di Mesir ribuan tahun silam, yang saat ini wilayah itu hanyalah sisa peninggalan sebuah peradaban yang telah hancur. Ide adanya makhluk cerdas (ETI) dari Mars berulang kembali melalui foto di atas dan tersebar luas dalam berbagai bentuk media, baik artikel di media massa, cerita fiksi ilmiah ataupun website. Seberapa pun gencarnya spekulasi masyarakat, pandangan sains tetap tidak beranjak dari ‘’wajah di Mars’’tersebut hanyalah rekaan imajinasi aras permukaan Mars. Dua dasawarsa kemudian, pada April 1998, Mars Global Surveyor melalui Mars Orbiter Camera (MOC) mengambil gambar ‘’wajah di Mars’’ untuk lebih menyelesaikan fenomena yang sebenarnya. Pengamatan serupa diulang pada tahun 2001. Sayangnya, foto yang dihasilkan Mars Global kurang tajam dan memerlukan konformasi lebih lanjut. Baru kemudian pada April 2004 hingga Juli 2006, wahana antariksa orbiter buatan Badan Ruang Angkasa Eropa (ESA), Mars Express, berhasil memotret daerah Cydonia (Cydonia region), yakni tempat ‘’wajah di Mars’’ itu berada pada 40o,75í lintang utara dan 9o.46î bujur timur ñ menggunakan kamera beresolusi tinggi (High Resolution Camera- HRSC).
Pemotretan tersebut berhasil memperoleh gambar tajam yang belum pernah dihasilkan hingga sekarang ini. Meskipun diganggu debu dan kabut atmosfer Mars serta faktor ketinggian lokasi orbiter, baru pada 22 Juli diperoleh gambar yang paling tajam dengan resolusi 13,7 m/piksel dan direkonstruksi dalam bentuk tiga dimensi di berbagai sudut pandang atau sudut perspektif. Pencapaian teknologi dari HRSC Mars Express dalam bentuk foto, dikatakan oleh Dr Augustine Chicaro, sungguh spektakuler dan bukan hanya menyediakan gambar yang jernih dan tajam dari objek yang begitu terkenal di kalangan penggila mitologi antariksa, namun juga menggugah kalangan ahli geologi keplanetan (planetary geologist) untuk meneliti lebih jauh. Berbeda dengan kalangan penggila mitologi antariksa yang luntur minatnya setelah menyadari bahwa ‘’wajah di Mars’’ terbentuk secara alamiah, kalangan geolog justru bertambah minat. Pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana profil ‘’wajah di Mars’’ bisa terbentuk? Daerah Cydonia berada di wilayah Arabia Terra yang merupakan wilayah peralihan dari dataran tinggi wilayah selatan dan dataran landai wilayah utara. Wilayah peralihan ini memiliki karakteristik membentang luas, berlembah-lembah yang diisi meteorit dan terkurung bukit-bukit kecil dalam berbagai ukuran dan bentuk. Di sekitar daerah Cydonia, permukaan tanahnya semakin menurun ke ‘’wajah di Mars’’ dan semakin banyak keberadaan bukit-bukit kecil atau berbagai benda yang tersusun dari batuan dan es yang berukuran lebih kecil. Diperkirakan aliran lava telah menutupi daerah itu yang mengakibatkan penumpukan material di bagian barat ‘’wajah di Mars’’ yang kemudian tererosi miring ke bawah. Lokasi ini juga mencerminkan pernah terjadi perpindahan material dari wilayah utara ke selatan yang diperlihatkan oleh pergerakan batuan yang mengikuti lereng yang bisa ditemui di kaki objek yang mirip piramida. Nah, sebuah mitologi telah dipatahkan. Misteri terungkap, tapi akan terus muncul pertanyaan baru lainnya.
Penulis : Amien Nugroho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar