Selasa, 02 Februari 2010

Upaya Menyelamatkan Bumi

Bumi hanyalah noktah yang terlihat biru kehijauan di hamparan luas alam raya. Carl Sagan menyebutnya Pole Blue Dot untuk planet ketiga dalam sistem Tata Surya ini,
 tempat manusia (homo sapiens) hidup dan berkembang sejak 100.000 tahun lalu. Meskipun hanya sebuah titik, daya dukung planet yang memungkinkan adanya kehidupan menjadikan planet ini sangat penting untuk dijaga. Sebagai rumah kehidupan, bumi merupakan planet yang sensitif dan rapuh terhadap perubahan akibat aktivitas dirinya maupun pengaruh dari luar. Juga keterbatasan sumber dayanya menjadikan manusia perlu ekstrahati-hati dalam mengelola dengan tidak mempercepat kerusakan bumi, karena kepentingan jangka pendek. Dalam setahun ada banyak kegiatan untuk mengingatkan manusia betapa penting artinya menjaga bumi. Kerusakan alam baik dalam lingkup lokal yang bisa diamati sehari-hari maupun dalam lingkup global yang diketahui melalui cara pengamatan yang berbeda, ternyata memengaruhi perkembangan planet ini. Penyebab kerusakan itu adalah keserakahan dan kecerobohan manusia seperti peperangan, eksploitasi alam, penggunaan teknologi yang tidak ramah lingkungan, kebijakan pembangunan yang tidak berlandaskan pada kelanjutan sumber daya alam, dan lainnya. Juga, faktor di luar kuasa manusia baik berasal dari dalam maupun luar bumi, seperti letusan gunung berapi, gempa, radiasi matahari yang lebih besar dari biasanya yang sering kita rasakan akhir-akhir ini, interaksi bumi-bulan, ataupun tumbukan oleh komet dan asteroid. Beberapa fenomena di bumi yang patut dicermati adalah sebagai berikut :


Efek Rumah Kaca Efek rumah kaca atau dalam bahasa asingnya dikenal dengan istilah green house effect adalah suatu fenomena di mana gelombang pendek radiasi matahari menembus atmosfer dan berubah menjadi gelombang panjang ketika mencapai permukaan bumi. Setelah mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang tersebut dipantulkan kembali ke atmosfer. Namun, tidak seluruh gelombang yang dipantulkan itu dilepaskan ke angkasa luar. Sebagian gelombang panjang dipantulkan kembali oleh lapisan gas rumah kaca di atmosfer ke permukaan bumi. Gas rumah kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan untuk menyerap radiasi matahari yang dipantulkan oleh bumi, sehingga bumi menjadi semakin panas. Perubahan panjang gelombang ini terjadi, karena radiasi sinar matahari yang datang ke bumi adalah gelombang pendek yang akan memanaskan bumi. Secara alami, agar tercapai keadaan setimbang di mana keadaan setimbang di permukaan bumi adalah sekitar 300 K, panas yang masuk tadi didinginkan. Untuk itu, sinar matahari yang masuk tadi harus diradiasikan kembali. Dalam proses ini yang diradiasikan adalah gelombang panjang infra merah. Proses ini dapat berlangsung berulang-ulang, sementara gelombang yang masuk juga terus menerus bertambah. Hal ini mengakibatkan terjadinya akumulasi panas di atmosfer, sehingga suhu permukaan bumi meningkat. Hasil penelitian menyebutkan bahwa energi yang masuk ke permukaan bumi: 25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfir, 25% diserap awan, 46% diabsorpsi permukaan bumi, dan sisanya yang 4% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi (beberapa penelitian memberikan hasil yang berbeda). Efek rumah kaca terjadi karena naiknya konsentrasi gas CO2 (karbondioksida) dan gas-gas lainnya seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), gas metan (CH4), kloroflourokarbon (CFC) di atmosfir. Kenaikan konsentrasi CO2 disebabkan oleh kenaikan berbagai jenis pembakaran di permukaan bumi, seperti pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara, dan bahan-bahan organik lainnya yang melampaui kemampuan permukaan bumi antuk mengabsorpsinya. Bahan-bahan di permukaan bumi yang berperan aktif untuk mengabsorpsi hasil pembakaran tadi ialah tumbuh-tumbuhan, hutan, dan laut. Jadi, bisa dimengerti bila hutan semakin gundul, maka panas di permukaan bumi akan naik. Energi yang diabsorpsi dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra merah oleh awan dan permukaan bumi. Hanya saja, sebagian sinar infra merah tersebut tertahan oleh awan, gas CO2, dan gas lainnya sehingga kembali ke permukaan bumi. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 dan gas-gas lain di atmosfer, maka semakin banyak pula gelombang panas yang dipantulkan bumi diserap atmosfer. Dengan perkataan lain, semakin banyak jumlah gas rumah kaca yang berada di atmosfer, maka semakin banyak pula panas matahari yang terperangkap di permukaan bumi. Akibatnya, suhu permukaan bumi akan naik. Dengan meningkatnya suhu permukaan bumi akan mengakibatkan perobahan iklim yang tidak biasa. Selain itu, hutan dan ekosistem pun akan terganggu. Bahkan, dapat mengakibatkan hancurnya gunung-gunung es di kutub yang pada akhirnya akan mengakibatkan naiknya permukaan air laut sekaligus menaikkan suhu air laut. Fenomena efek rumah kaca atau green house effect ini pertama kali ditemukan oleh fisikawan Perancis Joseph Fourier pada 1824 dan dibuktikan secara kuantitatif oleh Svante Arrhenius pada 1896. Penyebutan nama efek rumah kaca sebenarnya didasarkan atas peristiwa alam yang mirip dengan yang terjadi di rumah kaca yang biasa digunakan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan untuk menghangatkan tanaman di dalamnya. Dalam bahasa yang sederhana, proses terjadinya efek rumah kaca adalah: panas matahari merambat dan masuk ke permukaan bumi. Kemudian panas matahari tersebut akan dipantulkan kembali oleh permukaan bumi ke angkasa melalui atmosfer. Sebagian panas matahari yang dipantulkan tersebut akan diserap oleh gas rumah kaca yang berada di atmosfer. Panas matahari tersebut kemudian terperangkap di permukaan bumi, tidak bisa melalui atmosfer, sehingga suhu bumi menjadi lebih panas. Dalam jangka panjang, efek rumah kaca bisa memncairkan kutub es yang akan membanjiri daratan di permukaan bumi kita. Lubang Ozon Ozon merupakan lapisan tipis molekul molekul gas O3 yang berada di lapisan stratosfer pada atmosfer bumi yang melindunginya dari radiasi sinar ultraviolet (UV) yang berbahaya bagi makhluk hidup, seraya membiarkan sebagian cahaya masuk untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang menjadi dasar rantai makanan. Namun, perisai tipis ini (tebalnya sekira 10 km) rapuh terhadap senyawa buatan manusia seperti senyawa bromin dan khlorin terutama CFC (chlorofluorocarbon) dan halon. Lubang pertama teramati pada tahun 1985 di atas kutup Selatan (Antartika) dan semakin melebar tiap musim semi. Contoh lainnya adalah penggunaan hidrogen yang dinilai sebagai bahan bakar yang bersih. Meskipun pengaruh positif penggunaan hidrogen lebih besar dari pengaruh negatifnya, simulasi komputer yang dilakukan tim dari Institut Teknologi California, AS, yang dimuat dalam majalah Science tahun lalu patut diwaspadai. Ternyata, emisi gas hidrogen ke atmosfer akan mampu mendinginkan lapisan stratosfer akibat reaksinya dengan oksigen membentuk air. Kondisi ini akan meningkatkan perusakan lapisan ozon dengan laju 7% di Kutub Utara dan 8 % di Kutub Selatan. Radiasi Matahari Matahari bukan sekadar pusat tata surya, namun juga sebagai sumber panas yang menjadikan planet dan satelit-satelit alamnya selalu hangat. Energi matahari sebesar 88 trilliun watt/detik yang diserap bumi itulah yang membuat kehidupan bisa muncul di sini. Dalam empat dasawarsa ini, manusia semakin memahami, matahari bukanlah bintang yang konstan (tidak bergejolak). Jika dilihat dari evolusinya, 5 miliar tahun lagi, matahari akan membengkak menjadi maharaksasa merah (red supergiant). Namun, pengaruh yang saat itu dirasakan adalah perubahan mendadak atau periodik dalam jangka pendek aktivitas matahari dengan tingkat radiasi yang tinggi dari biasanya. Peningkatan radiasi ini ternyata sangat memengaruhi iklim di bumi dan berujung pada bencana. Sebagai contoh, musnahnya peradaban suku Maya (yang terkenal dengan ramalan yang menghebohkan dengan akan terjadinya Kiamat pada tahun 2012), di semenanjung Yucatan, Meksiko, pada 900 M, sesungguhnya diakibatkan oleh musim kemarau yang berkepanjangan. Ahli geologi dari Universitas Florida, David Hodell meneliti dasar danau Chichancanab di Meksiko pada kedalaman 1,9 meter dan mendapatkan rekaman perubahan cuaca yang mengubah sebuah kawasan menjadi gurun akibat kekeringan yang hebat. Musim kemarau itu diakibatkan radiasi matahari yang jauh lebih besar dari biasanya, dan memiliki periode setiap 206 tahun. Contoh berbeda terjadi tahun 1645 - 1715 sewaktu kerajaan Prancis diperintah oleh Louis XIV. Waktu itu, akibat radiasi matahari menurun, seluruh Eropa dilanda kedinginan yang berakibat buruk pada pertanian dan kegiatan sehari-hari. Contoh lainnya terjadi pada 28 - 30 Oktober 2003 dengan munculnya badai antariksa akibat ledakan tenaga matahari yang hebat disertai embusan angin yang kuat. Ledakan yang pengaruhnya tiba di bumi 19 jam kemudian itu, mampu memadamkan jaringan listrik dan mengacaukan jaringan telekomunikasi. Tumbukannya dengan medan magnet bumi memunculkan badai magnetik yang bisa mengubah arah jarum kompas. Tumbukan Benda Langit Di bumi terdapat lebih dari 160 kawah yang terbentuk akibat benturan benda angkasa (crater lake). Beberapa di antaranya telah menimbulkan dampak yang luar biasa yang mampu memusnahkan kehidupan yang ada dibumi. Banyaknya jumlah kawah itu menjadi peringatan, bumi bukanlah ”tempat tinggal” yang aman. Perhitungan yang dilakukan para astronom di atas bisa berubah, karena adanya faktor yang memengaruhi jalur orbit komet atau asteroid, yaitu interaksi gravitasi antara komet-asteroid dan planet-planet. Berbagai upaya pun dilakukan untuk mengetahui perubahan bumi (aktivitas internal maupun atmosfernya), juga pengaruh berbahaya dari luar angkasa seperti komet, asteroid, dan matahari. Beberapa misi ilmiah di antaranya Aeronomy of Ice in the Mesosphere (AIM) untuk mengetahui konsentrasi gas yang bisa menyebabkan efek rumah kaca di ketinggian atmosfer. Sentinels untuk mengetahui perubahan cuaca bumi secara akurat, Global electrodynamic Connection menggabungkan empat buah satelit dengan observatorium landas bumi untuk menyelidiki hubungan bumi-matahari. Misi untuk menyelidiki matahari terbaru adalah Solar Telescope yang dijadwalkan akan diluncurkan pada musim dingin ini (Desember - Januari), yang akan bertugas menyelidiki atmosfer matahari dan Solar Dynamic Observatory yang diluncurkan beberapa tahun lalu untuk mengukur dan mengamati medan magnet matahari.

Penulis : Amien Nugroho

Tidak ada komentar:

Posting Komentar