Senin, 14 Desember 2009

Kutub Utara & Selatan tidak membeku lagi


Pada awal 1896, para ilmuan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan merubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan temperatur rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957, ketika para peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak Gunung Mauna Loa di Hawai.
Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi Peningkatan konsentrasi karbondioksida di atmosfer. Setelah itu. komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat Data-data yang dikumpulkan menunjukan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer. Para ilmuan juga telah lama menduga, bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukit-bukit tepat Temperatur terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan tersebut. Namun data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya. Stasiun cuaca pada awalnya terletak dekat dengan daerah perkotaan, sehingga pengukuran temperatur akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan, kendaraan, juga panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari. perkotaan), serta dari satelit. Data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70% permukaan planet yang tertutup lautan. Data yang lebih akurat ini menunjukkan, kecenderungan menghangatnya permukaan bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa 10 tahun terhangat selama 100 tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dan 1998 menjadi yang paling panas. Dalam laporan yang dikeluarkan pada 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1,4-5,8 derajat Celsius (2,5-10,4 derajat Fahrenheit) pada 2100. IPCC panel juga memperingatkan, meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. Karbondioksida akan tetap berada di atmosfer selama 100 tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali. Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan dengan masa sebelum era industri. Akibatnya akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenamya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah. Pada 1996, PBB pernah memperingatkan bahwa jutaan orang, baik di negara kaya maupun miskin terancam meninggal dunia akibat penyakit-penyakit tropis dalam beberapa dasawarsa mendatang, kecuali pemanasan global dihentikan. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), dan Program Lingkungan PBB (UNEP) mengatakan pemanasan global juga menyebabkan pasokan makanan mengering, sementara meningkatnya permukaan air laut mencemari sumber-sumber air bersih. Diwarnai Ancaman pemanasan global tak kecil. Bukti ini sudah bisa dilihat dan dirasakan. Fenomena mencairnya es di kutub utara dan selatan adalah bagian dari efek tersebut Es di Greenland telah mencair hampir mencapai 19 juta ton.

Sementara volume es di Artik pada musim panas 2007 hanya tinggal setengah dari yang ada empat tahun sebelumnya. Bahkan baru-baru ini sebuah fenomena alam kembali menunjukkan betapa seriusnya kondisi ini. Pada 6 Maret 2008, sebuah bongkahan es seluas 414 kilometer persegi (hampir 1,5 kali luas kota Surabaya)diAntartika runtuh. Menurut peneliti, bongkahan es berbentuk lempengan yang sangat besar itu mengambang permanen di sekitar Amerika Selatan, barat daya Semenanjung Antartika. Padahal, diyakini bongkahan es itu berada di sana sejak 1.500 tahun lalu. "Ini akibat pemanasan global," ujar ketua peneliti NSIDC, Ted Scambos. Menurutnya, lempengan es yang disebut Wilkins Ice Shelf itu sangat jarang runtuh. Sekarang setelah adanya perpecahan itu, bongkahan es yang tersisa tinggal 12.950 kilometer persegi, ditambah 5,6 kilometer potongan es yang berdekatan dan menghubungkan dua pulau. Peneliti dari lnstitut Kelautan Wood Hole, Sarah Das menyatakan beberapa kejadian akhir-akhir ini merupakan titik yang memicu dalam perubahan sistem. Perubahan di Antartika sangat kompleks dan lebih terisolasi dari seluruh bagian dunia. Antartika di Kutub Selatan adalah daratan benua dengan wilayah pegunungan dan danau berselimut es yang dikelilingi lautan. Benua ini jauh lebih dingin daripada Artik, sehingga lapisan es disana sangat jarang meleleh, bahkan ada lapisan yang tidak pernah mencair dalam sejarah. Temperatur rata-ratanya minus 49 derajat Celsius, tapi pernah mencapai hampir minus 90 derajat celsius pada Juli 1983. Di Indonesia khususnya, tanda-tanda pemanasan global sudah mulai terlihat dalam sepuluh tahun terakhir. Satu di antaranya menyebabkan naiknya permukaan air laut yang dikhawatirkan menenggelamkan daerah-daerah pesisir dataran rendah di bagian utara Jawa timur, Sumatera selatan, Sulawesi dan pulau-pulau Sunda Kecil. Di bagian lain, kita sudah mengalami tiga kali musim kemarau sangat panjang yang berdampak amat merugikan. Menurut beberapa pakar, hal itu diakibatkan oleh fenomena El Nino, yaitu naiknya suhu di Samudera Pasifik sampai 31 derajat C sehingga membawa kekeringan di Indonesia. Para ahli klimatologi menyatakan bahwa siklus kejadian El Nino berlangsung antra tujuh sampai 10 tahun. Jika kita berasumsi bahwa kemarau pada 1982-1983 adalah akibat El Nino, seharusnya kemarau panjang berikutnya terjadi sekitar 1989-1990. Namun kita mengalami kemarau panjang berikutnya di 1987, lima tahun kemudian. Setelah itu, kemarau panjang kembali terjadi pada 1991 atau empat tahun setelah kemarau 1987. Selain itu, pada akhir 1992, bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami melanda Flores. Lalu pada awal 1993, hujan deras mengguyur berbagai daerah di Indonesia lebih deras dari tahun-tahun yang lalu. Berdasarkan pemantauan Badan Meteorologi dan Geofisika terhadap 90 daerah prakiraan musim, diketahui bahwa musim hujan 1992-1993 bersifat di atas normal pada 45 daerah (50%). Curah hujan yang tinggi disebabkan oleh fenomena kebalikan dari El Nino yaitu La Nina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar