Minggu, 27 Desember 2009

Kala Tsunami mengguncang Matahari


Bayangkan hal berikut: tsunami maharaksasa yang luar biasa dahsyat, dengan ketinggian gelombang sampai 100.000 km, mendadak menerjang dengan kecepatan 900 ribu km/ jam dengan mengangkut energi 2.400 megaton atau 120 ribu kali lipat lebih dahsyat dibanding bom nuklir Hiroshima. Adakah yang masih tersisa ketika tsunami ini menghantam pantai?

Sebagai pembanding, tsunami yang jauh lebih kecil dan ketinggian gelombangnya "hanya" 34,5 m dan kecepatan penjalarannya "hanya" 700 km/jam yang dibangkitkan gempa megathrust Sumatra-Andaman 26 Desember 2004 (9,1 skala magnitude) telah merenggut korban lebih dari 250 ribu juta jiwa, selain kerusakan infrastruktur yang teramat masif. Tunggu dulu, tsunami maharaksasa itu memang benar-benar nyata, namun terjadi di lokasi sejauh 150 juta km dari bumi. Tsunami maharaksasa itu terjadi di matahari akibat pelepasan jutaan ton plasma superpanas secara mendadak dari atmosfer terluar matahari menyusul berkecamuknya badai matahari. Meski kedahsyatannya luar biasa, tsunami matahari hanya bisa diamati dari satelit lewat kamera yang bekerja pada spektrum sinar ultraungu. Ilmuwan telah mencurigai eksistensinya sejak 1997 lewat bidikan satelit solarand heliospheric observatory (SOHO) yang memonitor matahari tanpa henti selama 24jam perhari melalui orbit uniknya di titik Lagrange yang sejauh 1,5 juta km dari bumi. Saat itu SOHO merekam adanya pantulan gelombang di lubang korona (lubang garis gaya magnet di atmosfer matahari) dan goyangan semburan lidah api. Namun keberadaan tsunami matahari baru dipastikan pada 2009 ini melalui satelit solar terestrial relations observatory (stereo), yakni sepasang satelit dengan geometri orbit demikian rupa sehingga keduanya menempati kedudukan saling tegak lurus jika dilihat dari matahari.

Adalah peristiwa badai matahari 13 Februari 2009 yang dilepaskan oleh bintik matahari (sunspot) nomor 11012 yang menyibak rahasianya. Tsunami matahari adalah usikan kuat akibat gangguan magnetik yang terjadi di plasma (campuran proton dan elektron bebas) bersuhu 6.000 derajat Celsius di permukaan matahari. Permukaan matahari bisa diibaratkan sebagai samudra karena kerapatan fluidanya hampir sama dengan air (yakni 1,4 gram/cm3) sehingga gelombang yang menjalar melewatinya pun ibarat gelombang air. Tsunami muncul akibat badai matahari, yakni tatkala arus konveksi dari bagian dalam matahari yang telah lama tertahan oleh tembok gangguan magnetik di permukaan matahari berupa bintik sanggup menjebol tembok tersebut. Arus selanjutnya terlepas ke atmosfer matahari dalam waktu singkat sehingga nampak sebagai ledakan (flare) yang menyemburkan massa partikel dan foton berenergi tinggi. Tak jarang sebuah ledakan sanggup menyemburkan 10-100 juta ton elektron dan proton berkerapatan tinggi ke angkasa sebagai coronal mass ejection ke angkasa berkecepatan 1,08-1,8 juta km/jam yang memiliki kuat medan magnet hingga 10 Gauss. Lepasnya massa jutaan ton inilah yang menyebabkan usikan sangat kuat sehingga membangkitkan gelombang magnetohidrodinamik cepat ketinggian awalnya demikian besar, mencapai 1/13 diameter matahari, yang selanjutnya menjalar melewati plasma ke segenap penjuru permukaan matahari sebagai tsunami. Tsunami matahari sama sekali tak mengganggu Bumi mengingat fenomena tersebut hanya terjadi di permukaan matahari. Sebaliknya fenomena ini bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan prediksi aktivitas matahari khususnya terkait badai di sana. Badai matahari, yang didesas-desuskan akan meningkat jumlahnya pada akhir 2012 mendatang, telah lama menjadi perhatian mengingat daya rusaknya. Meski bila dibandingkan Venus, Bumi lebih tahan terhadap ancaman badai matahari berkat selubung medan magnetnya. Pada Venus, tanpa medan magnet selembar pun, arus elektron dan proton dari badai matahari membuat suhu atmosfernya secara mendadak naik hingga 150 derajat Celsius sebelum kemudian turun ke 90 derajat dalam 5-7 menit sehingga berdampak sangat signifikan pada iklim Venus. Badai Geomagnet Pada Bumi, pemanasan atmosfer tidaklah terjadi. Dan kenaikan suhu permukaan Bumi sebesar 0,36 derajat (rata-rata) sejak 1970, kurang dari sepertiganya saja yang disumbangkan oleh badai matahari. Bahaya terbesar berasal arus elektron dan protonnya, yang oleh sabuk radiasi van Allen akan dibelokkan ke kutub-kutub geomagnet sehingga takkan sanggup mencapai permukaan. Namun gerakan proton dan elektron sebagai partikel bermuatan listrik di medan magnet Bumi akan menciptakan badai geomagnet, yang memicu terbentuknya arus listrik induksi geomagnetik sebesar ratusan hingga ribuan ampere. Pada masa ketika sektor-sektor infrastruktur di Bumi seperti sumber energi (pembangkit listrik, stasiun bahan bakar dan gas), transportasi (sistem navigasi berbasis satelit), layanan kedaruratan, jaringan komunikasi, birokrasi pemerintahan dan militer serta layanan finansial saling bergantung satu sama lain, arus induksi badai matahari mampu melumpuhkan semuanya secara bersamaan. Pada badai matahari 13 Maret 1989 misalnya, terjadi medan geomagnet induksi sekuat 500 nT sehingga arus induksi yang diciptakannya membakar gardu induk stasiun pembangkit listrik Hydro-Quebec dan akibatnya 6 juta penduduk Kanada mengalami kegelapan selama 9 jam. Kanada pun lumpuh kembali pada bulan Januari 1994 ketika badai matahari merusak 2 satelit komunikasi Anik yang dipangkalkan di orbit geosinkron (36.000 km dari permukaan Bumi), di mana biaya perbaikannya satelitnya saja mencapai 70 juta dolar AS. Dan pada bulan Desember 2005, radiasi sinar-X dari sebuah badai matahari membuat sinyal salah satu satelit Naystar GPS terganggu selama 10 menit. Satelit menjadi target paling empuk karena mayoritas tidak dilengkapi perisai alumunium setebal = 5 g/cm2 atas pertimbangan ekonomis. Simposium Fisika Matahari di AS pada 22-23 Mei 2008 memprediksikan dampak badai matahari mendatang bakal melebihi dampak topan Katrina, bila kekuatannya setara badai matahari Maret 1989. Diprediksikan 350 gardu induk berpotensi rusak permanen, yang akan membuat 130 juta penduduk AS terperangkap dalam gelap sehingga dampak sosialnya pun cukup besar. Badan antariksa seperti NASA dan ESA diniinta bersiap-siap untuk kehilangan paling tidak 60 % satelitnya yang berada di orbit Bumi. Upaya pemulihan diperkirakan akan menelan biaya 1 triliun-2 triliun dolar AS untuk kurun waktu 4 hingga 10 tahun pascabadai. Dalam situasi di mana ekonomi global sedang diterjang resesi besar dengan skala tak terperi, prediksi kerusakan berskala masif ini sungguh tidak enak didengar. Selain menyiapkan usulan rencana tanggap darurat dan mitigasi dalam bentuk penguatan gardu-gardu induk, simposium juga mengusulkan perbaikan sistem peringatan dini di bawah kendali NOAA dengan biaya 6-7 juta dolar AS per tahun hingga 2012 kelak. Di sinilah fenomena tsunami matahari berperan penting untuk mempertajam skala dan akurasi pengamatan badai matahari sehingga terdapat selang waktu lebih besar guna menyiapkan diri. Artikel ini saya peroleh dari “Muh Ma’rufin Sudibyo” alumnus Teknik Fisika UGM, anggota Himpunan Astronom Indonesia ( HAI )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar