sehingga badai salju sampai menutupi seluruh Kepulauan Inggris Raya yang membuatnya nampak sebagai kepulauan putih pucat berdasarkan pantauan satelit Terra milik NASA.
Snowmageddon |
Zaman Es dahulu |
Badai salju juga berkecamuk di China yang merenggut puluhan korban jiwa, selain membekukan laut di Pelabuhan Beijing untuk pertama kalinya sepanjang sejarah China modern.
Di Amerika, badai salju dua kali melumpuhkan pesisir timur Amerika Serikat dan Canada selama paruh pertama Februari 2010 yang membuat aktivitas pendidikan, perkantoran, dan transportasi lumpuh total. Badai salju terakhir pada 7-11 Februari bahkan memecahkan rekor ketebalan salju di berbagai kota besar, seperti Washington DC yang setebal 191 cm (sebelumnya 157 cm), membuat tempat-tempat tersebut menjadi putih dan sepi, sampai memaksa Presiden Barrack Obama menisbatkannya sebagai peristiwa snowmageddon alias petaka salju.
Sebagai konsekuensi dari cuaca ekstrem di belahan Bumi utara, hujan deras mengguyur di daerah lintang rendah seperti Brazil, Bangladesh, Argentina, dan Indonesia. Hujan deras tak henti-hentinya mengakibatkan banjir, banjir bandang, dan tanah longsor di berbagai lokasi di Indonesia, seperti di Wonosobo, Jakarta, dan yang terakhir di Ciwidey (Bandung), merenggut banyak korban jiwa. Intensitas curah hujan kian dipertinggi oleh aktifnya MJO (Madden Julian Oscillation), siklus cuaca ekstrem yang berosilasi tiap 30-40 hari sekali dan berpotensi menumpahkan hujan deras berhari-hari.
Rangkaian peristiwa itu mengherankan mengingat Indonesia masih mendapat pengaruh El Nino, yang membuat udara lebih kering dibanding normalnya, sehingga intensitas curah hujan menjadi lebih rendah. Matahari Tenang Cuaca ekstrem pada dua bulan pertama 2010 diyakini merupakan dampak dari tenangnya aktivitas Matahari khususnya selama setahun terakhir. Sepanjang tahun 2009 satelit SOHO (Solar and Heliospheric Observatory) milik NASA dan ESA mencatat permukaan Matahari bersih (bebas dari bintik Matahari) selama 260 hari atau terbesar sepanjang 100 tahun terakhir kecuali di tahun 1913. Sejak 2004 Matahari sudah mencetak 772 hari tanpa bintik Matahari, sementara rata-rata normalnya seharusnya hanya 485 hari, sehingga berlawanan dengan isu Kiamat 2012, Matahari pada hari-hari mendatang khususnya dalam siklus bintik ke-24 yang telah dimulai sejak Desember 2008 diprediksikan memiliki aktivitas lebih tenang dibandingkan dengan siklus-siklus bintik sebelumnya.
Badan pengawas atmosfer dan kelautan AS (NOAA), yang semula berpegangan pada Simposium Fisika Matahari 22°V23 Mei 2008 yang meramalkan aktivitas Matahari akan meningkat dan menghasilkan badai Matahari yang potensi kerusakannya setara dengan terjangan badai Katrina pun telah mengubah prediksinya di mana Matahari akan memasuki periode paling tenang bahkan untuk kurun waktu seabad terakhir.
Model matematis yang disusun astronom Dr. Dhani Herdiwijaya dari ITB pun sejalan dengan prediksi NOAA di mana siklus Matahari saat ini akan berpuncak pada April/Mei 2014 dengan bilangan bintik Matahari hanya ~ 40.
Tenangnya aktivitas Matahari menyebabkan intensitas cahaya Matahari yang sampai ke Bumi sedikit lebih rendah dibandingkan nilai normalnya 1.367 watt per meter persegi. Karena aktivitas Matahari berkontribusi 33% terhadap dinamika suhu permukaan Bumi, maka penurunan intensitas cahaya Matahari akan berkontribusi pada menurunnya suhu Bumi. Maka, terjadilah pendinginan global (global cooling) yang ditandai dengan penurunan suhu Bumi khususnya di wilayah subtropis dan lingkar kutub disertai meluasnya tudung es kutub dan gletser, disusul cuaca ekstrem. Dengan umur rata-rata siklus bintik Matahari 10,4 tahun dan siklus bintik ke-25 pun diprediksikan menempatkan Matahari dalam kondisi tenang, maka pendinginan global akan terasakan sejak 2009 hingga 2030 .
Dampak Pendinginan global di masa lalu sering dihubungkan dengan zaman es kecil, yakni periode di antara awal abad ke-15 hingga awal abad ke-20 di mana suhu Bumi lebih rendah dibanding normalnya. Dalam era kontemporer yang sedang didera isu pemanasan global akibat meningkatnya emisi gas CO2 dan gas rumah kaca lainnya sebagai produk aktivitas manusia, sehingga muncul Coppenhagen Accord yang menyepakati penurunan emisi gas rumah kaca dan Indonesia menargetkan untuk memotong emisi 26% hingga 47%, sekilas pendinginan global dianggap sebagai berkah terselubung. Namun, tunggu dulu! Fenomena pendinginan global juga bisa menimpakan dampak serius terhadap peradaban manusia.
Zaman es kecil di masa silam ditandai oleh dua ekstrimitas: periode minimum Maunder dan minimum Dalton. Minimum Maunder yang terjadi tahun 1645 - 1715, ditandai dengan sangat rendahnya bintik Matahari yang teramati, yakni hanya 50 buah per 30 tahun tersebut, sementara normalnya seharusnya berjumlah 40.000 - 50.000 bintik per 30 tahun. Ini membuat sungai dan kanal di Eropa utara membeku, sehingga memutus suplai irigasi yang berakibat pada kegagalan panen dan terjadinya kekurangan pangan.
Kondisi yang sama pun terjadi di Amerika Utara, bahkan lebih parah. Permukiman suku bangsa Viking di Greenland terjepit oleh bencana kelaparan hingga akhirnya musnah. Sementara di China, berkecamuknya bencana kelaparan nan dahsyat menyebabkan kanibalisme menggejala. Dikombinasikan dengan merebaknya bencana penyakit sampar di masa itu, maka zaman es kecil menghasilkan bencana kematian terbesar sepanjang sejarah.
Kondisi yang mirip terulang kembali pada minimum Dalton yang terjadi pada 1790 - 1830 M, meski dalam skala lebih kecil. Dikombinasikan dengan melimpahnya debu vulkanik di atmosfer Bumi akibat letusan katastrofik Gunung Tambora di Indonesia pada 1815, minimum Dalton menghasilkan anomali cuaca yang ekstrem dan menyebarnya penyakit.
Anomali bahkan menyebabkan tahun 1816 berlalu tanpa adanya musim panas khususnya di belahan Bumi utara dan menjadi salah satu penyebab kekalahan Napoleon Bonaparte di medan pertempuran Waterloo sekaligus mengakhiri mimpi akan imperium kekaisaran Prancis.
Ilmuwan dalam Conference of The Earth and Space Sciences 2010 di Bandung, Januari 2010, memperingatkan agar Indonesia segera bersiap-siap dengan rencana mitigasi mengantisipasi fenomena global cooling, mengingat sebagai benua maritim, Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor cuaca ekstrem lainnya seperti Indian Ocean Dipole Mode (IODM), MJO, dan El-Nino Southern Oscillation (ENSO) sebagai konsekuensi dari posisinya di persilangan samudera. Bila faktor cuaca ekstrem tersebut berkoalisi dengan global cooling, maka dampaknya akan lebih parah. Anomali cuaca Indonesia pada dua bulan pertama 2010 merupakan hasil koalisi MJO dengan global cooling.
Global cooling seharusnya juga tidak dianggap sebagai jeda dalam upaya mitigasi perubahan iklim untuk menekan laju emisi gas rumah kaca. Sejarah aktivitas Matahari menunjukkan, pascaperiode tenang akan diikuti periode bergejolak selama beberapa siklus bintik kemudian, sehingga jika upaya mitigasi pemanasan global berhenti pada periode ini, setelah 2030 kita akan merasakan efek berganda (double effect) pemanasan global sebagai hasil kongkalikong meningkatnya aktivitas Matahari dan tetap tingginya emisi gas rumah kaca. Jika ini terjadi, apa yang diramalkan panel IPCC mengenai potensi musnahnya 30% populasi tanaman bahan pangan yang sensitif terhadap perubahan suhu melebihi 2 C dari normal, bakal terjadi lebih cepat.
Sumber :
Muh Ma’rufin Sudibyo, pemakalah dalam Conference of The Earth and Space Sciences (CESS) 2010 di Bandung, dan anggota HAI (Himpunan Astronomi Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar