Mei 2010 menjadi salah satu bulan terbasah, khususnya di Jawa. Hampir setiap hari hujan turun. Beberapa berintensitas cukup tinggi, sehingga menimbulkan banjir dan longsor. Bencana itu hampir merata di
Pulau Jawa, dari Pacitan, Madiun, Pati, Cilacap, sampai Kebumen. Banjir di Kebumen, Sabtu 29 Mei 2010, bahkan berkualifikasi banjir banding. Itu ditandai hujan sangat deras berintensitas 115 mm atau setara jumlah hujan normal untuk keseluruhan Mei menurut catatan BMKG selama 30 tahun terakhir. Sejumlah dampak ikutan dengan potensi kerugian miliaran rupiah pun membayang, dari kepusoan lahan pertanian akibat rendaman air hingga ketersendatan aktivitas industri genting akibat kekurangan sinar matahari.
Curah hujan tinggi itu merupakan anomali, mengingat secara teknis sudah memasuki musim kemarau sejak April 2010. Data astronomis menunjukkan, sejak 21 Maret 2010 pukul 00:34 deklinasi matahari bernilai positif. Matahari sudah berada di utara garis ekuator dalam gerak semu tahunan. Observasi pun menunjukkan, rasi bintang Gubug Penceng/Pari (Crux) sudah terlihat di langit selatan sesudah matahari terbenam. Demikian pula segi tiga musim panas, yakni segi tiga khayali yang bersudut bintang terang seperti Vega (rasi Lyra), Altair (rasi Aquilla), dan Deneb (rasi Cygnus). Ketika hal itu terpenuhi, umumnya sebagian besar wilayah Indonesia akan menjalani musim kemarau. Namun kenyataan tak sesederhana itu.
Tiga Faktor Cuaca
Posisi unik Indonesia yang diapit dua benua dan dua samudera membuat cuaca di negeri ini sangat dipengaruhi dinamika antarbenua dan antarsamudera. Dinamika antarbenua menghasilkan sistem angin muson yang bertiup dari Asia menuju Australia atau sebaliknya, yang berganti arah secara periodik setiap enam bulan sekali sehingga menciptakan musim hujan dan kemarau. Dinamika antarsamudera menghasilkan tiga faktor cuaca nonperiodik: osilasi selatan di Samudera Pasifik, dipole mode di Samudera Hindia, dan osilasi Madden-Julian antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Ketiga faktor cuaca itulah yang selama ini bertanggung jawab atas anomali cuaca di Indonesia. Itu baru bisa diungkap dalam setengah abad terakhir seiring dengan penempatan satelit pengamat cuaca dan oseanografi di orbitnya, seperti satelit TOPEX/Poseidon. Osilasi selatan merupakan fenomena atmosferik dan oseanik terintegrasi di Samudera Pasifik sebagai hasil interaksi tekanan udara regional, embusan angin pasat, dan suhu air laut permukaan. Dalam kondisi normal, suhu perairan tropis Pasifik barat (di dekat Indonesia) minimal 0,5 derajat C lebih hangat dan berelevasi 0,5 m lebih tinggi ketimbang perairan tropis Pasifik timur (di dekat Amerika Latin).
Itu membuat aliran udara di atas Indonesia mengalami konveksi naik, yang menjadikan Indonesia sebagai pusat pembentukan awan hujan terbesar di bumi. Namun dalam osilasi hangat (El-Nino), kondisi itu bertolak belakang sehingga udara di atas Indonesia justru mengalami konveksi turun. Akibatnya, kelembaban udara turun drastis dan tak memungkinkan terbentuk awan hujan sehingga terjadilah kekeringan. Sementara, pada osilasi dingin (La-Nina atau anti El-Nino), keadaan mirip kondisi normal tetapi berlebih. Akibatnya, kelembaban udara Indonesia sangat tinggi sehingga potensi turun hujan sangat besar. Adapun dipole mode merupakan fenomena mirip osilasi selatan yang berlangsung di Samudera Hindia. Dipole mode positif terjadi ketika perairan tropis Hindia Barat (berdekatan dengan Afrika) lebih hangat ketimbang perairan tropis Hindia Timur (dekat Indonesia) sehingga banyak terbentuk awan hujan di Indonesia. Dipole mode negatif sebaliknya, sehingga banyak terbentuk awan hujan di atas Indonesia.
Berbeda dari osilasi selatan yang telah diselidiki sejak seabad silam, dipole mode baru diketahui para ilmuwan pada 1999 seiring dengan ketersediaan data satelit cuaca dan oseanografik kawasan Samudera Hindia. Namun baik osilasi selatan maupun dipole mode diindikasikan telah berlangsung sejak awal kala Holosen (10.000 tahun silam). Jika osilasi selatan berulang setiap 2-7 tahun sekali dengan durasi 9-24 bulan dan rata-rata terjadi 4 dipole positif dan negatif berdurasi 6 bulan untuk setiap kurun waktu 30 tahun, osilasi Madden-Julian bertolak belakang. Osilasi itu adalah gerakan awan hujan berskala besar yang anomalik di daerah tropis dari barat ke timur, yang diawali dari Samudera Hindia bagian barat, melintasi Indonesia dan Samudera Pasifik hingga berakhir di Samudera Atlantik, untuk kemudian muncul lagi di Samudera Hindia.
Osilasi itu berulang setiap 30-60 hari sekali dengan durasi hanya 2-4 minggu, namun mampu menurunkan hujan sangat deras. Susahnya, osilasi itu hanya bisa dilacak sensor inframerah satelit cuaca di orbit geostasioner (ketinggian 35.880 km dari permukaan laut) tanpa bisa didukung data oseanografi dari instrumen di lautan. Ketiga faktor cuaca ekstrem itu tidak jarang berkoalisi, sehingga menimbulkan dampak berganda. Kekeringan panjang pada tahun 1997/1998, misalnya, disebabkan oleh koalisi osilasi hangat yang kuat dan dipole mode positif yang tak kalah kuat, yang membuat kelembaban udara Indonesia turun tajam sehingga beberapa tempat bahkan tak mengalami hujan selama 11 bulan. Kepusoan lahan pertanian dan kebakaran hutan berskala luas (yang dipicu manusia) menambah panjang instabilitas nasional yang akhirnya berujung pada ambruknya Orde Baru. Pada masa silam, hal yang sama menghancurkan sistem pengairan rumit bangsa Khmer pada abad ke-5. Penelitian Grove (1998) menggambarkan, betapa osilasi hangat nan kuat selama empat tahun penuh (1789-1793) berdampak global terhadap kelangkaan pangan massal dan menjadi salah satu pemantik Revolusi Prancis. ( Muh Ma’rufin Sudibyo-modf.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar