Selasa, 15 Desember 2009
Solusi Menekan Efek Pemanasan Global
Pemikiran tentang pemanasan global telah ada sejak dulu, tetapi tindakan nyata untuk mengantisipasinya baru dilakukan dalam dekade tcrakhir. Itu pun, sampai saat ini belum ada hasil yang signifikan. Banyak hambatan menjadi penghalang dalam mengatasi pemanasan global. Bahkan yang menjadi masalah, negara-negara maju yang seharusnya menjadi pelopor dalam mengatasi pemanasan global malah menjadi sumber utama pemanasan itu. Hal ini berkaitan erat dengan proses industri yang menjadi penyebab utama pemanasan global. Jika ditinjau dari pemanasan global, sistem di bumi dapat dikelompokkan menjadi dua daerah, yaitu daerah produksi panas dan daerah penetral panas. Daerah utama pemroduksi panas adalah negara-negara besar dan matang. Jadi cukup sulit untuk mendesak mereka menghentikan aktivitas, terutama industri, yang menjadi penghasil panas bumi berlebih. Daerah produksi panas ini pemasok karbondioksida tertinggi. Sebab aktivitas industri berupa pembakaran bahan bakar fosil. yaitu minyak bumi, batu bara, dan gas bumi menghasilkan jumlah karbondioksida di atmosfer dalam jumlah banyak. Pembakaran bahan-bahan tersebut menambahkan 18,35 miliar ton karbondioksida ke atmosfer tiap tahun. Sementara dari konsumsi energi dunia saat ini (tidak termasuk kayu bakar), sedikit di bawah 40% adalah minyak bumi, 27% batu bara, dan 22% gas bumi, sedangkan listrik tenaga air dan nuklir merupakan 11% sisanya. Selain merupakan bahan bakar fosil yang menghasilkan pencemaran paling tinggi, batu bara juga menghasilkan karbondioksida terbanyak per satuan energi. Membakar satu ton batu bara menghasilkan sekitar 2,5 ton karbondioksida. Untuk mendapatkan energi yang sama dari minyak, jumlah karbondioksida yang dilepas akan mencapai dua ton dan dari gas bumi hanya 1,5 ton. Karena itu, dibutuhkan konsentrasi untuk menekan ancaman global secara menyeluruh. Salah satunya pemberdayaan daerah yang menjadi penetral panas. Di khatulistiwa atau daerah yang masih banyak memiliki hutan hujan tropis, paling tidak bisa menekan efek dari pemanasan global. Ada tiga daerah utama di bumi yang dapat dikatakan sebagai paru-paru dunia karena potensinya untuk mengatur sirkulasi air dan udara, pengatur suhu bumi, penentu iklim, dan me-refresh bumi secara periodik. Ketiga daerah utama paru-paru bumi itu adalah Indonesia, Brazil, dan Afiika Tengah. Indonesia lebih berperan sebagai paru-paru dunia dibandingkan dengan dua negara lainnya. Sebab memiliki kondisi laut yang luas dan dangkal serta sinar matahari berlimpah, sehingga konvensi air lebih aktif. Solusi penanganan pemanasan global tak hanya pada pengkondisian daerah penetral panas agar tetap terjaga, Ada upaya-upaya lain yang harus ditekan penerapannya. Panel Antar pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPPC) menghitung beberapa penghematan yang diperlukan untuk mempertahankan tingkat emisi yang ada saat ini. Emisi karbondioksida misalnya, harus turun 60%, yang berarti bahwa penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi, industri, dan listrik pada tingkat global harus dikurangi sampai tingkat setengah. Sebuah skenario, berdasarkan penelitian Dr Mick Kelly, Universitas East Anglia di Inggris, dirancang untuk menetapkan konsentrasi gas rumah kaca tahun 2030 pada kadar sedikit lebih tinggi dari pada kadar saat ini. Hal ini memerlukan perubahan mendasar. Beberapa ciri kuncinya adalah penghapusan produksi chlorofluorocarbon sejak 1995 dan mungkin juga bahan-bahan penggantinya yang mempunyai efek rumah kaca. Menghentikan penggundulan hutan pada 2000, diikuti dengan penanaman kembali hutan-hutan secara intensif. Pengurangan emisi karbondioksida dari bahan bakar fosil sampai 30% dari kadar saat ini pada 2020. Pengurangan dalam peningkatan konsentrasi tahunan metana dan dinitrogen oksida sampai 25% dari nilai saat ini. Selain itu kita harus menciptaan suatu sistem preventif yang dapat mencegah pengrusakan hutan yang disebabkan oleh fenomena alam, seperti banjir, gempa, longsor, atau terbakamya hutan secara natural. Perjanjian Mengikat Di samping upaya-upaya di atas, harus ada hukum yang jelas, tegas, dan digunakan dalam menjerat oknum-oknum yang melakukan pengrusakan terhadap paru-paru bumi, seperti penebangan liar, pembakaran, dan pemusnahan hutan. Pemerintah Indonesia membentuk Komisi Nasional untuk Evaluasi dan Monitoring Dampak Perubahan Iklim pada Lingkungan pada 1990. Komisi tersebut pernah merangkum satu "Strategi Antisipasi Dampak Perubahan iklim". Berbagai kebijakan sudah menampakkan hasilnya. Namun langkah tersebut belum cukup, diperlukan tindakan menyeluruh misalnya dalam bidang konservasi energi, penggunaan sumber energi terbarui, penghutanan kembali dan penerapan teknologi ilmiah Lingkungan guna mengatasi serta mengurangi ancaman pemanasan global. Dengan kata lain, kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, PBB membentuk INC kemudian United Nations Conference on Environtment and Development, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil atau KTT Bumi. Sebanyak 155 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menerjemahkan dalam suatu perjanjian yang mengikat. Hasil penting konvensi PBB tentang keanekaragaman hayati dan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan iklim. Dengan tujuan menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer ke tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem iklim. Emisi karbon di tahun 2000 harus ditekan hingga ke tingkat emisi tahun 1990. Lalu pada 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto. Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat lima persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. “SAVE OUR EARTH”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar